Pemilu dan Bahaya Algoritma Digital
Jakarta – Integrasi teknologi digital ke dalam sistem politik ternyata membawa sejumlah bahaya. Media digital yang beroperasi dengan basis algoritmanya menjadi ancaman serius terhadap kualitas demokrasi kita. Bahkan, hasil akhir sebuah kontestasi politik bisa saja ditentukan oleh kerja algoritma.
Keberhasilan Donald Trump mempecundangi Hilary Clinton dalam Pilpres AS 2016 silam adalah salah satu bukti dari keberhasilan algoritma mempengaruhi hasil sebuah pesta demokrasi. Trump memanfaatkan besarnya jumlah pengguna media sosial di Amerika Serikat untuk melakukan kampanye terarah lewat iklan di media sosial.
Dan saat ini, kita tengah menyongsong perhelatan kontestasi elektoral. Kita perlu mewaspadai bahaya yang datang dari sistem kerja algoritma digital.
Algoritma generasi terbaru, potongan-potongan kode yang berfungsi seperti infrastruktur di belakang layar internet kita –sebagaimana dijelaskan oleh Mediana dalam tulisannya di Kompas (28/3/2019) dengan judul Kurasi Algoritma– mampu memeringkat preferensi dan memfilter konten secara online untuk “kebutuhan” kita.
Dalam medan pertempuran “klik” di internet, algoritma seperti itu ada di mana-mana; di web, baik di mesin pencari, situs berita utama, akun belanja ritel daring, feed posting di media sosial, maupun akun Netflix dan Spotify kita. Algoritma yang sama adalah alasan mengapa kita tahu toko ritel favorit melakukan promo penjualan atau mengapa sepertinya semua teman Facebook berbagi pandangan politik yang sama dengan kita.
Seringkali kita tidak melihat ada hasil pencarian yang bertentangan dengan kebiasaan berinternet dan memang begitulah cara algoritma bekerja. Algoritma dengan berbasis pada data dan aktivitas digital kita mampu menyusun dan memetakan dengan cermat kecenderungan, minat dan, kebutuhan kita.
Semakin sering dan lama kita berselancar di medsos, semakin akurat juga algoritma membaca dan mengenal kecenderungan atau kebutuhan kita, sehingga tidak heran jika informasi atau konten yang muncul di feed media sosial atau mesin penelusuran kita selalu sesuai dengan apa yang kita inginkan dan butuhkan.
Menjerumuskan
Algoritma tentu saja membantu kita sebagai pengguna internet. Agus Sudibyo dalam tulisannya di Kompas (12/12/2022) dengan judul Kuasa Algoritma dan Polarisasi Politik menjelaskan bahwa algoritma kurasi yang dioperasikan perusahaan platform media sosial dan mesin pencari telah menyelamatkan pengguna internet dari rimba raya konten digital yang tak beraturan dan sangat kompleks dengan menyajikan struktur sajian konten yang terstruktur, terseleksi, dan mudah diakses.
Tanpa proses kurasi algoritmis, kita ibaratnya tersesat dalam sebuah perpustakaan raksasa tanpa dipandu katalog sama sekali. Namun, di sisi lain, proses kurasi algoritmis juga bisa menjerumuskan pengguna internet dalam lingkup informasi yang “itu-itu saja” dan kelompok percakapan yang cenderung tertutup. Suatu keadaan yang umumnya tak disadari pengguna internet, tapi menentukan bagaimana mereka bersikap soal pandangan keberagaman dan opini. Kurasi algoritmis yang membentuk, meminjam Agus Sudibyo, “kepompong” informasi dan percakapan semacam inilah yang disebut dengan fenomena filter bubble dan echo chamber.
Filter bubble adalah sebuah algoritma sistem yang memungkinkan penggunanya untuk mendapatkan konten serupa sesuai dengan perilakunya ketika menggunakan layanan internet dan web. Contoh perilaku tersebut adalah dengan menyukai sebuah posting-an, share, comment, klik link tertentu, hingga history pencarian pengguna. Sementara, echo chamber atau ruang bergema adalah adalah lingkungan di mana seseorang hanya menemukan informasi atau pendapat yang mencerminkan dan memperkuat pendapat mereka sendiri.
Jika ditarik ke sudut pandang yang lebih luas, sebenarnya hubungan antara filter bubble dan ruang bergema tersebut terjadi layaknya efek domino. Algoritma akan memberi pengguna topik yang mereka sukai (sesuai dengan like, klik, search, comment, dan share yang dilakukan pengguna sebelumnya), lalu mengumpulkannya dengan pengguna lain yang memiliki opini atau topik kesukaan serupa. Ketika mereka sudah berada pada satu lingkup yang sama, maka hal tersebut sudah menjadi cikal bakal fenomena echo chamber. (Wulandari, dkk., 2021)
Ancaman Serius
Hemat saya, dua fenomena ini, filter bubble dan echo chamber, adalah ancaman serius bagi kontestasi elektoral kita. Saya memetakan sekurang-kurangnya ada dua dampak buruk yang disebabkan oleh fenomena filter buble dan echo chamber bagi kelangsungan kontestasi elektoral kita. Pertama, polarisasi politik. Filter bubble dan echo chamber membuat netizen hanya mengonsumsi informasi yang sejenis dan bertemu hanya dengan orang-orang yang sepemahaman dengannya.
Aliran informasi yang sejenis dan pergaulan serta percakapan yang bersifat eksklusif ini berpotensi besar menumbuhkan benih fanatisme di kalangan warganet karena di sana terjadi konsolidasi identitas “ke-kita-an”, dan orang-orang yang sepemahaman ini akhirnya mendefinisikan kelompoknya berbeda atau bertentangan dengan kelompok-kelompok lain. Jika ini terjadi, maka polarisasi politik adalah hal yang tidak terhindarkan dan bangsa kita punya pengalaman buruk dengan hal ini, seperti yang terjadi dalam Pilpres 2019.
Bahkan polarisasi politik tersebut terus berlanjut hingga masa pasca kontestasi. Karena itu, polarisasi politik akibat filter bubble dan echo chamber harus jadi perhatian serius. Kita perlu belajar dari kejadian di Amerika Serikat pada Pilpres 2020 yang dimenangkan oleh Joe Biden. Saat itu, pendukung Trump menolak hasil pemilu dan menyerang Capitol Hill untuk membatalkan pengangkatan Biden. Mengapa itu terjadi? Karena mereka terus dicekoki oleh informasi yang sama bahwa pemilu telah dibajak dan kemenangan Biden adalah sebuah pencurian.
Kedua, kematian diskursus publik yang berkualitas. Pemilu bukan hanya soal pertarungan merebut kursi kuasa, tapi juga pertarungan gagasan untuk membangun bangsa dan negara ini. Karena itu, salah satu keharusan dalam pemilu adalah adanya diskursus dan perdebatan gagasan dan diskursus atau perdebatan yang berkualitas adalah diskursus dan perdebatan yang terbuka terhadap aneka macam perspektif, gagasan dan informasi.
Menutup Ruang
Filter bubble dan echo chamber menutup ruang bagi terciptanya diskursus berkualitas semacam itu. Orang hanya disuguhi informasi yang homogen dan hanya menerima argumentasi yang memperkuat keyakinannya. Di sana percakapan tidak bersifat dialogis, melainkan monologis. Padahal demokrasi meminta kita bertemu dengan yang lain untuk saling bertukar gagasan dan menguji kebenaran yang kita yakini secara diskursif supaya pemahaman kita diperkaya dan diperdalam, sekaligus agar kita tidak terjebak dalam fanatisme.
Kerja algoritma lewat filter bubble dan echo chamber membuat pemilu kita miskin diskursus intelektual. Selain itu, masyarakat kita juga miskin pertimbangan kritis saat memilih. Filter bubble dan echo chamber membuat pemilih hanya menerima informasi soal kandidat yang didukungnya serta berbicara juga dengan orang yang mendukung kandidat yang sama dengannya, tapi tidak membuat studi komparatif dengan kandidat lain untuk menguji kualifikasi mereka sebagai kandidat. Pilihan diambil tanpa berpijak di atas basis pertimbangan yang kuat.
Karena itu, berhadapan dengan ancaman algoritma dalam bentuk filter bubble dan echo chamber, kita dituntut untuk mengambil sikap yang kritis, inklusif, dan diskursif. Kita mesti terbuka terhadap aneka pandangan dan informasi dan membangun diskursus dengan pihak lain untuk membongkar kekerdilan pemahaman dan pengetahuan kita. Pandangan dan keyakinan politik kita harus diuji dan diundang untuk berdialog dengan pihak lain agar kita tidak terjebak dalam fanatisme yang membabi buta